Follow Us @ngajimuslimah

Ngaji Hidup Pada Mbah Jum

Oleh: Fina Afidatussofa

Ruang utama pondok kami sedang diperbaiki,  beriringan dengan perombakan total madrasah tempat kami mengaji saban malam. Semua kelas dialihkan ke berbagai tempat.  Ruang-ruang masjid, bahkan ndalem (rumah)  pengasuh.

Semua kelas mendapat jatah tempat masing-masing kecuali kelas kami. Ya.  Kami tidak kebagian ruang.  Semua ruang sudah terpakai,  sementara kami tidak mungkin nebeng kelas lain sebab pelajaran pun tentu beda materi.

Untuk beberapa hari, kelas kami dikosongkan.  Kami diminta menelaah materi-materi terdahulu di kamar.  Jadi saban malam kami kumpul rame-rame di kamar tertentu untuk membahas kitab.



"Pak Bahrul masih berusaha mencarikan tempat untuk kita,  semoga aja cepat ketemu," kata Rania saat kami sarapan Bubur Ayam di tempat Mbah Jum.

"Haduh lama banget,  sebentar lagi kita ujian semester.  Kitab-kitab belum pada khatam, " Keluhku sebelum memakan sesuap bubur dan mengigit bakwan hangat. 

"Ono opo to nduk?  Madrasah dibongkar,  kalian belum dapat kelas? " Mbah Jum bertanya sambil membungkuskan bubur sayur pesanan Mbak Winda.

"Enggih Mbah.. " Jawab kami bersamaan.

"Lha kalian ndak dapat kelas,  gitu? "
Wah rupanya Mbah Jum menyimak obrolan kami.

"Nggih Mbah, jadi beberapa hari ini kami belajar di kamar. Ruang depan pondok dan aula juga dirombak.  Jadi ndak ada tempat belajar buat kelas kami Mbah.."

"Belajarnya di rumah Mbah saja sana. Di ruang tamu. Kalau malam ndak pernah ada tamu," ucap Mbah Jum masih sambil meladeni pembeli.

Aku dan Rania berpandangan. Ide Bagus.

"Apa ndak apa-ama Mbah?" Tanyaku sungkan.

"Ngga-popo to Nduk.."

*

Setelah berembuk dengan Pak Bahrul-Wali kelas kami, dan setelah secara khusus beliau meminta ijin Mbah Jum sebagai bentuk "kulonuwun" atau unggah ungguh memohon ijin untuk kemi bisa menempati ruang tamu Mbah Jum sementara waktu, kami memulai pelajaran lagi malamnya.

Rumah sederhana Mbah Jum yang beralaskan tanah,  kami gelari tikar. Toh mengaji kitab hanya butuh kehadiran,  setor kuping dan memakanai, jadi ruang tamu Mbah Jum sangat membantu kami meski cahayanya agak temaram .

Kelas kami hanya berjumlah dua belas santri putri.  Tidak memakan cukup banyak tempat. Jadi terasa nyaman-nyaman saja.

Kami mengaji kitab Fathul Qorib malam itu, syahdu mendengarkan Pak Bahrul menerangkan.  Sama sekali tidak terganggu dengan suara masakan Mbah Jum di dalam. 

Satu jam setengah berlalu. 
Belum juga usai pelajaran malam itu,  Mbah Jum dan  Arifa cucunya mengeluarkan tempe. mendoan hangat beberapa piring. Lalu Arifa masuk lagi mengambil teko berisikan teh,  disusul gelas-gelas.

"Lho Mbah kok repot-repot," Pak Bahrul kelabakan merasa tidak enak melihat jamuan tak terduga ini.

Kami juga ikut merasa sungkan rasanya.  Samasekali tak mengira kehadiran kami membuat Mbah Jum sibuk menyiapkan jamuan.

Ternyata suara srang-sreng dari dapur tadi adalah suara tempe goreng buat kami.

"Endak-endak,  mboten repot.  Saya ini seneng kalau rumah dijadikan ngaji.  Saestu (sungguh)",

"Nggih Mbah maturnuwun,  tapi besok ndak perlu seperti ini nggih. Kami jadi merepotkan"

"Mpun Pak Ustadz ndak usah hawatir. Mbah Jum seneng, jangan dilarang-larang nyuguhi. Kalau cuma punya air putih ya itu yang saya sediakan."

"Mpun dinikmati mawon," Lanjut Mbah Jum menyodorkan piring-piring dan gelas yang oleh Arifa telah dituangkan teh.

"Dihabiskan lho nggeh, dawuhe Pak Yai kalau disuguhi makanan dan yang ngasih ekhlas laher baten,  yang makan juga insya Allah angsal katah barokah.. "

*

Jadilah sejak malam itu,  Mbah Jum selalu menyuguhi kami apa pun setiap pelajaran nyaris usai.

Kadang bakwan goreng,  keripik singkong, keripik tempe,  pisang godog,  ubi rebus, dan lain-lain.  Sederhana tapi mampu mengganjel perut kami yang lelah didera durasi ngaji.

Kami yang awal-awal makan sambil sungkan,  lama-lama menjadi terbisa dan menikmati.  Sambil berdoa agar rezeki Mbah Jum lancar jaya.

*

Malam melarut saat aku duduk sendirian di teras atas pondok putri. Mushaf Qur'an masih kugenggam sejak beberapa menit sebelumnya, tanpa kubuka.  Aku sibuk memandangi gemintang yang membaur luas. Sambil membayangkan sosok Mbah Jum.

Ia hanya tinggal bersama Arifa,  cucunya.  Arifa ditinggal wafat kedua orang tuanya sejak SD. Padahal Ibu Arifa adalah anak satu-satunya.

Entah bagaimana kemudian Arifa menamatkan sekolahnya hingga lulus SMA. Yang kami tahu sekarang Arifa bekerja jadi buruh pabrik.

Mungkin menurun sifat Mbah Jum yang biaya hidupnya begitu ngirit, Arifa dengan gaji UMR-nya pun berusaha menyederhanakan kebutuhannya sehingga sedikit banyak ia bisa meringankan beban Mbah Jum.

Saban tahun Mbah Jum tidak pernah ketinggalan setor hewan kambing untuk Qurban.  Ia menabung hasil keuntungan dagang bubur di koperasi saban minggunya.

Yah tentu ini sesuatu yang istimewa.  Sebesar apa pun penghasilan seseorang, kalau menuruti kebutuhan dan keinginan memang tak pernah ada lebihnya. Makanya aku sendiri salut dengan ketelatenan Mbah Jum menyisihkan uang di tengah berbagai kebutuhan hidup.

Dari lantai atas ini,  aku bisa melihat sepetak tanah belakang rumah Mbah Jum.  Antara pondok putri dan rumahnya, hanya jeda warung jajanan milik Yu Qonah. 

Aku sering melihat Mbah Jum bersama Arifa memetik berbagai bahan masakan dari kebun sederhananya.  Sayuran,  cabai,  daun salam,  apapun!

 Kutakar barangkali ini juga yang bikin mereka sangat irit.  Mereka tanam sendiri kebutuhan dapurnya.  Kami bahkan sering diminta metik sendiri jika perlu sesuatu.  Ah,  Mbah Jum begitu menyayangi kami.

"Simbah ini bodo, Nduk.  Tapi simbah seneeeeng banget sama bocah-bocah sing seneng ngaji, " ucapnya suatu ketika.

Kami terkagum pada Mbah Jum yang selalu menyimak pengajian Abah Yai dan menerapkannya. Bukankah ada tiga tingkatan dalam ilmu, pertama menjadi ahli ilmu, kedua mencari ilmu  ketiga mencintai ilmu dan mencintai orang-orang yang menuntut ilmu.

Arifa, cucu satu-satunya sudah tamat madrasah pondok sebagai santri kalong (Hanya ikut sekolah,tidak mondok).

Saban malam seusai membantu menyiapkan camilan, ia juga ikut nimbrung kelas kami, mengulang materi yang tentu sudah ia pelajari.

Hmm..

Di belakang rumah itu juga,  tiap sepertiga malam kulihat Mbah Jum mengambil air wudhu di padasan.  Semua santri putri pernah menyaksikannya.  Keistiqomahan Mbah Jum yang selalu bangun malam membuat kami tidak takut bangun dini karena yakin Mbah Jum pun sudah membuka harinya.  Meski lokasi kami berjarak,  entah kenapa kenyataan satu itu begitu menenangkan kami.

~

Aku melihat ketulusan dalam kesederhanaan sebagai sesuatu yang istimewa dan mengagumkan.

 Hidup Mbah Jum begitu bersahaja. Rajin jamaah di masjid, rajin menyimak pengajian dan mengikuti beberapa majelis Ibu-ibu yang diadakan pondok untuk masyarakat. Baik pada tetangga utamanya pada kami. Kesehariannya amat sederhana,  tenang dan dari waktu ke waktu berusaha menerapkan apa-apa yang didawuhkan Abah Yai dalam kajian-kajian ba'da subuh yang memang sengaja menggunakan pengeras.

Di lingkungan ini,  TOA untuk ngaji pagi adalah kelumrahan yang sudah terjadi bertahun-tahun sebab mayoritas warganya juga suka mengaji. 

*

"Pak Ustadz saya mau bertanya," Suatu maalam,  Mbah Jum tiba-tiba menyibak tirai usang pembatas ruang tamu saat kami mengaji Bab Haji.

"Saya punya tabungan 26 juta.  Baiknya saya Umroh apa daftar Haji ya?"

Kami terbelalak.  Tabungannya sebanyak ituu?

"Wah banyak sekali Mbah tabungannya, "

"Saya nabung lalu saya belikan sapi dan dirawat si Selamet. Sapinya beranak pinak beberapa tahun ini Pak Ustadz.  Lalu beberapa saya jual, "

"Aihhhh Mbah Jum ini hobinya memang menabung.  Passion yang luar biasa." Pak Bahrul berkelakar.

"Bagusnya daftar Haji Mbah.  Umroh sebelum haji bukan kesunnahan. Malahan sebetulnya ada ulama yang mengharamkan. Saking urgennya prioritas haji ini,"

"Bagaimana jika usia saya ndak smapai pak Ustadz?  Apa tidak lebih baik saya umroh untuk bisa melihat Ka'bah? "

"Yang utama daftar hajinya,  Mbah.  Persoalan nanti kita bisa sampe gilirannya atau tidak, Insya Allah sudah tercatat sebagai orang yang menyempurnakan rukun islam."

"Nggih, nggih maturnuwun... " Mbah Jum mohon diri.

Pak Bahrul diam beberapa saat,  menunduk memperhatikan kitabnya tanpa sepatah kata pun.  Nampaknya berusaha menguasai rasa haru yang menyeruak begitu saja. Sama seperti kami. Aku khususnya.

Kuperhatikan lantai tanah ini, deretan anyaman bambu pemisah ruangan ini dengan ruangan yang lain,  usangnya kayu-kayu penyangga rumah, dan ruang tamu bersahaja tanpa banyak dekorasi. 

Sudah hampir sebulan kami menumpang, pekan setelahnya kami kembali ke madrasah utama yang sudah agak layak ditempati meski belum ditembok.

Kami begitu nyaman di ruang tamu ini,  ditambah hangatnya sambutan Mbah Jum dan Arifa yang selalu sumringah tiap menjamu kami. 

 Ingat Mbah Jum yang sempat menerima dengan berat saat kami berikan amplop dan beberapa keperluan dapur seperti minyak,  gula dan lain-lain lalu disusul dengan permohonan,

"Tulung nduk ndak usah begini, saestuuu,  embah sedih kalau kalian begitu.  Mbah Jum ini pokoknya lagi ngerayu Gusti Allah biar hidup mbah barokah, dosane diampuni dan nanti kalau mati bisa khusnul Khotimah.  Jadi kalau simbah kasih ini itu ke kalian,  ndak usah kepikiran memberi balik.  Cuma hal-hal kecil begini yang bisa embah lakukan, "

Duh mbah, tak ada yang kecil dalam keikhlasan dan kesungguhan. 

Aku ingat dawuh Abah Yai saat mengaji,  ada seseorang yang diangkat menjadi wali bukan karena kealiman atau keluarbiasaan ibadah ritual,  tapi karena kedermawanan.

Duh Gusti, mondok di sini bukan saja hanya dapat ilmu dari kitab,  tapi bahkan bisa mengaji dari hidup sehari-hari orang-orang yang begitu bersemangat menjalankan apa yang bisa dilakukan dengan kesungguhan,  ketulusan dan dilengkapi murninya harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar